Syeh Siti Jenar (Lemah Abang) dalam Mengenal Tuhan
Ajaran Siti Jenar memahami Tuhan sebagai ruh yang tertinggi, ruh
maulana yang utama, yang mulia yang sakti, yang suci tanpa kekurangan.
Itulah Hyang Widhi, ruh maulana yang tinggi dan suci menjelma menjadi
diri manusia.
Hyang Widhi itu di mana-mana, tidak di langit, tidak di bumi,
tidak di utara atau selatan. Manusia tidak akan menemukan biarpun
keliling dunia. Ruh maulana ada dalam diri manusia karena ruh manusia
sebagai penjelmaan ruh maulana, sebagaimana dirinya yang sama-sama
menggunakan hidup ini dengan indera, jasad yang akan kembali pada
asalnya, busuk, kotor, hancur, tanah. Jika manusia itu mati ruhnya
kembali bersatu ke asalnya, yaitu ruh maulana yang bebas dari segala
penderitaan. Lebih lanjut Siti Jenar mengungkapkan sifat-sifat hakikat
ruh manusia adalah ruh diri manusia yang tidak berubah, tidak berawal,
tidak berakhir, tidak bermula, ruh tidak lupa dan tidak tidur, yang
tidak terikat dengan rangsangan indera yang meliputi jasad manusia.
Syeh Siti Jenar mengaku bahwa, “aku adalah Allah, Allah adalah aku”. Lihatlah, Allah ada dalam diriku, aku ada dalam diri Allah.
Pengakuan Siti Jenar bukan bermaksud mengaku-aku dirinya sebagai
Tuhan Allah Sang Pencipta ajali abadi, melainkan kesadarannya tetap
teguh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Siti Jenar merasa bahwa
dirinya bersatu dengan “ruh” Tuhan. Memang ada persamaan antara ruh
manusia dengan “ruh” Tuhan atau Zat. Keduanya bersatu di dalam diri
manusia. Persatuan antara ruh Tuhan dengan ruh manusia terbatas pada
persatuan manusia denganNya. Persatuannya merupakan persatuan Zat
sifat, ruh bersatu dengan Zat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan
frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti atau jumbuhing kawula Gusti. Bersatunya dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Diumpamakan wiji wonten salebeting wit.
Pandangan Syeh Lemah Abang Tentang Manusia
Dalam memandang hakikat manusia Siti Jenar membedakan antara jiwa dan akal. Jiwa
merupakan suara hati nurani manusia yang merupakan ungkapan dari zat
Tuhan, maka hati nurani harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Jiwa merupakan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Hyang
Widdhi (Tuhan) di dalam jiwa, sehingga raga dianggap sebagai wajah Hyang
Widdhi. Jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat zat Tuhan
yakni kekal, sesudah manusia raganya mati maka lepaslah jiwa dari
belenggu raganya. Demikian pula akal merupakan kehendak, tetapi
angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat
dipercaya, karena selalu berubah-ubah.
Menurut sabdalangit, perbedaan karakter jiwa dan akal
yang bertolak belakang dalam pandangan Siti Jenar, disebabkan oleh
adanya garis demarkasi yang menjadi pemisah antara sifat hakikat jiwa
dan akal-budi. Jiwa terletak di luar nafsu, sementara akal-budi
letaknya berada di dalam nafsu. Mengenai perbedaan jiwa dan akal, dalam
wirayat Saloka Jati diungkapkan bahwa akal-budi umpama kodhok kinemulan ing leng atau wit jroning wiji (pohon ada di dalam biji). Sedangkan jiwa umpama kodhok angemuli ing leng atau wiji jroning wit (biji ada di dalam pohon).
Bagi Syeh Siti Jenar, proses timbulnya pengetahuan datang secara
bersamaan dengan munculnya kesadaran subyek terhadap obyek. Maka
pengetahuan mengenai kebenaran Tuhan akan diperoleh seseorang bersama
dengan penyadaran diri orang itu. Jika ingin mengetahui Tuhanmu,
ketahuilah (terlebih dahulu) dirimu sendiri. Syeh Lemah bang percaya
bahwa kebenaran yang diperoleh dari hal-hal di atas ilmu pengetahuan,
mengenai wahyu dan Tuhan bersifat intuitif. Kemampuan intuitif ini ada
bersamaan dengan munculnya kesadaran dalam diri seseorang.
Pandangan Syeh Lemah Bang Tentang Kehidupan Dunia
Pandangan Syeh Jenar tentang dunia adalah bahwa hidup di dunia
ini sesungguhnya adalah mati. Dikatakan demikian karena hidup di dunia
ini ada surga dan neraka yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia
yang mendapatkan surga mereka akan mendapatkan kebahagiaan, ketenangan,
kesenangan. Sebaliknya rasa bingung, kalut, muak, risih, menderita itu
termasuk neraka. Jika manusia hidup mulia, sehat, cukup pangan,
sandang, papan maka ia dalam surga. Tetapi kesenangan atau surga di
dunia ini bersifat sementara atau sekejap saja, karena betapapun juga
manusia dan sarana kehidupannya pasti akan menemui kehancuran.
Syeh Jenar mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya
mayat yang gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta
mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Manusia bergembira
atas apa yang ia raih, yang memuaskan dan menyenangkan jiwanya, padahal
ia tidak sadar bahwa semua kesenangan itu akan binasa. Namun begitu
manusia suka sombong dan bangga atas kepemilikan kekayaan, tetapi tidak
menyadari bahwa dirinya adalah bangkai. Manusia justru merasa dirinya
mulia dan bahagia, karena manusia tidak menyadari bahwa harta bendanya
merupakan penggoda manusia yang menyebabkan keterikatannya pada dunia.
Jika manusia tidak menyadari itu semua, hidup ini sesungguhnya
derita. Pandangan seperti itu menjadikan sikap dan pandangan Siti
Jenar menjadi ekstrim dalam memandang kehidupan dunia. Hidup di dunia
ini adalah mati, tempat baik dan buruk, sakit dan sehat, mujur dan
celaka, bahagia dan sempurna, surga dan neraka, semua bercampur aduk
menjadi satu. Dengan adanya peraturan maka manusia menjadi terbebani sejak lahir hingga mati.
Maka Syeh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya manusia untuk hidup
yang abadi agar tahan mengalami hidup di dunia ini. Siti Jenar kemudian
mengajarkan bagaimana mencari kamoksan (mukswa/mosca) yakni mati sempurna beserta raganya lenyap masuk ke dalam ruh (warongko manjing curigo).
Hidup ini mati, karena mati itu hidup yang sesungguhnya karena manusia
bebas dari segala beban dan derita. Karena hidup sesudah kematian
adalah hidup yang sejati, dan abadi.
Syeh Siti Jenar Mengkritik Ulama dan Para Santrinya
Alasan yang mendasari mengapa Syeh Siti Jenar mengkritik
habis-habisan para ulama dan santrinya karena dalam kacamata Syeh Siti,
mereka hanya berkutat pada amalan syariat (sembah raga).
Padahal masih banyak tugas manusia yang lebih utama harus dilakukan
untuk mencapai tataran kemuliaan yang sejati. Dogma-dogma, dan
ketakutan neraka serta bujuk rayu surga justru membelenggu raga, akal
budi, dan jiwa manusia. Maka manusia menjadi terkungkung rutinitas lalu
lupa akan tugas-tugas beratnya. Manusia demikian menjadi gagal dalam
upaya menemukan Tuhannya.
Kritik Syeh Lemah Bang Atas Konsep Surga-Neraka
Konsep surga-neraka dalam ajaran Siti Jenar berbeda sekali
dengan apa yang diajarkan oleh para ulama. Menurut Syeh Siti Jenar,
surga dan neraka adalah dalam hidup ini. Sementara para ulama
mengajarkan surga dan neraka merupakan balasan yang diberikan kepada
manusia atas amalnya yang bakal diterima kelak sesudah kematian
(akherat).
Menurut Syeh Siti, orang mukmin telah keliru karena mengerjakan
shalat jungkir balik, mengharap-harap surga, sedang surga sesudah
kematian itu tidak ada, shalat itu tidak perlu dan orang tidak perlu
mengajak orang lain untuk shalat. Shalat minta apa, minta rizki ? Tuhan
toh tidak memberi lantaran shalat.
Santri yang menjual ilmu dengan siapa pun mau menyembah Tuhan di
masjid, di dalamnya terdapat Tuhan yang bohong. Para ulama telah
menyesatkan manusia dengan menipu mereka jungkir balik lima kali, pagi,
siang, sore, malam hanya untuk memohon-mohon imbalan surga kelak.
Sehingga orang banyak tergiur oleh omongan palsunya, dan orang menjadi
gelisah tak enak ketika terlambat mengerjakan shalat. Orang seperti itu
sungguh bodoh dan tak tau diri, jikalau pun seseorang menyadari bahwa
shalat itu dilakukan karena merupakan kebutuhan diri manusia sendiri
untuk menyembah Tuhannya, manusia ternyata tidak menyadari
keserakahannya; dengan minta-minta imbalan/hadiah surga. Orang-orang
telah terbius oleh para ulama, sehingga mereka suka berzikir, dan
disibukkan oleh kegiatan menghitung-hitung pahalanya tiap hari.
Sebaliknya, lupa bahwa sejatinya kebaikan itu harus diimplementasikan
kepada sesama (habluminannas).
Lebih lanjut Syekh Siti Jenar menuduh para ulama dan murid
mereka sebagai orang dungu dan dangkal ilmu, karena menafsirkan surga
sebagai balasan yang nanti diterima di akhirat. Penafsiran demikian
adalah penafsiran yang sangat sempit. Hidup para ulama adalah hidup
asal hidup, tidak mengerti hakekat, tetapi jika disuruh mati mereka
menolak mentah-mentah. Surga dan neraka letaknya pada manusia
masing-masing. Orang bergelimang harta, hidupnya merasa selalu terancam
oleh para pesaing bisnisnya, tidur tak nyeyak, makan tak enak, jalan
pun gelisah, itulah neraka. Sebaliknya, seorang petani di lereng gunung
terpencil, hasil bercocok tanam cukup untuk makan sekeluarga,
menempati rumah kecil yang tenang, tiap sore dapat duduk bersantai di
halaman rumah sambil memandang hamparan sawah hijau menghampar, hatinya
sesejuk udaranya, tenang jiwanya, itulah surga. Kehidupan ini telah
memberi manusia mana surga mana neraka.
Syeh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos dan
mikrokosmos (manusia) sekurangnya kedua hal ini merupakan barang baru
ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan
tidak abadi. Manusia terdiri atas jiwa dan raga yang intinya ialah
jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan.
Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi
pancaindera, sebagai organ tubuh seperti daging, otot, darah, dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang
suatu saat, setelah manusia terlepas dari kematian di dunia ini, akan
kembali berubah asalnya yaitu unsur bumi (tanah).
Syeh Lemah Bang, mengatakan bahwa;
“Bukan kehendak angan-angan, bukan ingatan, pikiran atau
niat, hawa nafsu pun bukan, bukan pula kekosongan atau kehampaan.
Penampilanku sebagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat
busuk bercampur debu, nafasku terhembus di segala penjuru dunia, tanah,
api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, manusialah yang memberi nama”.
Kesimpulan
Pandangan Syeh Lemah Bang; tentang terlepasnya manusia dari
belenggu alam kematian yakni hidup di alam dunia ini, berawal dari
konsepnya tentang ketuhanan, manusia dan alam. Manusia adalah jelmaan
zat Tuhan. Hubungan jiwa dari Tuhan dan raga, berakhir sesudah manusia
menemui ajal atau kematian duniawi. Sesudah itu manusia bisa manunggal
dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu semua bentuk badan wadag
(jasad) atau kebutuhan jasmanisah ditinggal karena jasad merupakan
barang baru (hawadist) yang dikenai kerusakan dan semacam barang
pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang punya yaitu Tuhan sendiri.
Terlepas dari ajaran Siti Jenar yang sangat ekstrim memandang
dunia sebagai bentuk penderitaan total yang harus segera ditinggalkan
rupanya terinspirasi oleh ajaran seorang sufi dari Bagdad, Hussein Ibnu
Al Hallaj, yang menolak segala kehidupan dunia. Hal ini berbeda dengan
konsep Islam secara umum yang memadang hidup di dunia sebagai khalifah
Tuhan.
Pandangan Kejawen Tentang Kehidupan di Dunia
Pandangan Kejawen tentang makna hidup manusia dunia ditampilkan
secara rinci, realistis, logis dan mengena di dalam hati nurani; bahwa
hidup ini diumpamakan hanya sekedar mampir ngombe, mampir
minum, hidup dalam waktu sekejab, dibanding kelak hidup di alam
keabadian setelah raga ini mati. Tetapi tugas manusia sungguh berat,
karena jasad adalah pinjaman Tuhan. Tuhan meminjamkan raga kepada ruh,
tetapi ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu. Pada
awalnya Tuhan Yang Mahasuci meminjamkan jasad kepada ruh dalam keadaan
suci, apabila waktu “kontrak” peminjaman sudah habis, maka ruh diminta
tanggungjawabnya, ruh harus mengembalikan jasad pinjamannya dalam
keadaan yang suci seperti semula. Ruh dengan jasadnya diijinkan Tuhan
“turun” ke bumi, tetapi dibebani tugas yakni menjaga barang pinjaman
tersebut agar dalam kondisi baik dan suci setelah kembali kepada
pemiliknya, yakni Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Ruh dan jasad
menyatu dalam wujud yang dinamakan manusia. Tempat untuk mengekspresikan
dan mengartikulasikan diri manusia adalah tempat pinjaman Tuhan juga
yang dinamakan bumi berikut segala macam isinya; atau mercapada. Karena bumi bersifat “pinjaman” Tuhan, maka bumi juga bersifat tidak kekal.
Betapa Maha Pemurahnya Tuhan itu, bersedia meminjamkan jasad,
berikut tempat tinggal dan segala isinya menjadi fasilitas manusia
boleh digunakan secara gratis. Tuhan hanya menuntut tanggungjawab
manusia saja, agar supaya menjaga semua barang pinjaman Tuhan tersebut,
serta manusia diperbolehkan memanfaatkan semua fasilitas yang Tuhan
sediakan dengan cara tidak merusak barang pinjaman dan semua
fasilitasnya.
Itulah tanggungjawab manusia yang sesungguhnya hidup di dunia ini;
yakni menjaga barang “titipan” atau “pinjaman”, serta boleh
memanfaatkan semua fasilitas yang disediakan Tuhan untuk manusia dengan
tanpa merusak, dan tentu saja menjaganya agar tetap utuh, tidak rusak,
dan kembali seperti semula dalam keadaan suci. Itulah “perjanjian”
gaib antara Tuhan dengan manusia makhlukNya. Untuk menjaga klausul
perjanjian tetap dapat terlaksana, maka Tuhan membuat rumus atau
“aturan-main“ yang harus dilaksanakan oleh pihak peminjam yakni
manusia. Rumus Tuhan ini yang disebut pula sebagai kodrat Tuhan;
berbentuk hukum sebab-akibat. Pengingkaran atas isi atau “klausul
kontrak” tersebut berupa akibat sebagai konsekuensi logisnya. Misalnya;
keburukan akan berbuah keburukan, kebaikan akan berbuah kebaikan pula.
Barang siapa menanam, maka mengetam. Perbuatan suka memudahkan akan
berbuah sering dimudahkan. Suka mempersulit akan berbuah sering
dipersulit.
Konsep Kejawen Tentang Pahala dan Dosa
dan Pandangan Kejawen tentang Kebaikan-Keburukan
Ajaran Kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang
menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadat. Bagi Kejawen, motifasi
beribadat atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena
tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang manembah
kepada Tuhan Yang Maha Suci bukan karena takut neraka dan tergiur
iming-iming surga. Kejawen memiliki tingkat kesadaran bahwa
kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas
alasan ketakutan dan intimidasi dosa-neraka, melainkan kesadaran kosmik
bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan
baik pada diri sendiri. Kebaikan kita pada sesama adalah
KEBUTUHAN diri kita sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Karena
setiap kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan kembali untuk diri
kita sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali pada diri kita secara
berlipat. Demikian juga sebaliknya, setiap kejahatan akan berbuah
kejahatan pula. Kita suka mempersulit orang lain, maka dalam
urusan-urusan kita akan sering menemukan kesulitan. Kita gemar menolong
dan membantu sesama, maka hidup kita akan selalu mendapatkan
kemudahan.
Menurut pandangan Kejawen, kebiasaan mengharap dan
menghitung pahala terhadap setiap perbuatan baik hanya akan membuat
keikhlasan seseorang menjadi tidak sempurna. Kebiasaan itu juga
mencerminkan sikap yang serakah, lancang, picik, dan tidak tahu diri. Karena menyembah Tuhan adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan.
Mengapa seseorang masih juga mengharap-harap pahala dalam memenuhi
kebutuhan pribadinya sendiri ? Dapat dibayangkan, jika kita menjadi
mahasiswa maka butuh bimbingan dalam menyusun skripsi dari dosen
pembimbing, maka betapa lancang, serakah, dan tak tahu diri jika kita
masih berharap-harap supaya dosen pembimbing tersebut bersedia
memberikan uang kepada kita sebagai upah. Dapat diumpamakan pula
misalnya; kita mengharap-harapkan upah dari seseorang yang bersedia
menolong kita..?
Ajaran Kejawen memandang bahwa seseorang yang menyembah
Tuhan dengan tanpa pengharapan akan mendapat pahala atau surga dan
bukan atas alasan takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk
KEMULIAAN HIDUP YANG SEJATI. Sebaliknya, menyembah Tuhan,
berangkat dari kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ini selalu
berhutang kenikmatan dan anugrah dari Tuhan. Dalam satu detik seseorang
akan kesulitan mengucapkan satu kalimat sukur, padahal dalam sedetik
itu manusia adanya telah berhutang puluhan atau bahkan ratusan
kenikmatan dan anugerah Tuhan. Maka seseorang menjadi tidak etis,
lancang dan tak tahu diri jika dalam bersembahyang pun manusia masih
menjadikannya sebagai sarana memohon sesuatu kepada Tuhan. Tuhan tempat
meminta, tetapi manusia lah yang tak tahu diri tiada habisnya
meminta-minta. Dalam sikap demikian ketenangan dan kebahagiaan hidup
yang sejati akan sangat sulit didapatkan.
Sembahyang tidak lain sebagai cara mengungkapkan rasa berterimakasihnya kepada Tuhan. Namun demikian ajaran
Kejawen memandang bahwa rasa sukur kepada Tuhan melalui sembahyang
atau ucapan saja tidak lah cukup, tetapi lebih utama harus
diartikulasikan dan diimplementasikan ke dalam bentuk tindakan atau
perbuatan baik kepada sesama dalam kehidupan sehari-harinya.
Jika Tuhan memberikan kesehatan kepada seseorang, maka sebagai wujud
rasa sukurnya orang itu harus membantu dan menolong orang lain yang
sedang sakit atau menderita.
Itu lah pandangan yang menjadi dasar Kejawen bahwa menyembah Tuhan, dan berbuat baik pada sesama, bukanlah KEWAJIBAN (perintah) yang datang dari Tuhan, melainkan diri kita sendiri yang mewajibkan.
0 komentar:
Posting Komentar